FIQIH PEREMPUAN
Minggu, 08 April 2018
Add Comment
Pada zaman jahiliyyah banyak sekali pendapat mengenai hukumnya haid. Bagi yang mengikuti hukumnya orang Yahudi, dia akan sangat keras, bahkan sampai perempuan yang haid dilarang makan bersama, duduk satu majelis dan tidak boleh masuk ke rumah yang didalamnya terdapat isteri yang sedang haid.
Dan bagi yang mengikuti hukumnya orang Nasrani, maka tidak apa-apa bahkan menye-tubuhi perempuan yang sedang haid juga tidak apa-apa. Oleh karenanya, pada zaman nabi Muhammad banyak yang bertanya mengenai hukumnya haid lalu turunlah ayat yang ber-bunyi,
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ
“Mereka bertanya kepadamu tentang (darah) haid. Katakanlah, “Dia itu adalah suatu kotoran (najis)”. Oleh sebab itu hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di tempat haidnya (kemaluan). Dan janganlah kalian mendekati mereka, sebelum mereka suci (dari haid). Apabila mereka telah bersuci (mandi bersih), maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Secara dzahir dari ayat itu dapat dipahami kalau isteri yang sedang haid maka hendaklah untuk dijauhi. Pada masa dulu, banyak orang yang salah dalam memahami ayat tersebut, ada yang pergi menjauh dari isterinya dan tidak ada suami yang mau mendekati isterinya yang sedang haid. Setelah Nabi saw mendengar perbuatan para sahabat, beliau bersabda,
“Sesungguhnya kalian disuruh untuk tidak menyetubuhi isteri kalian yang sedang haid, dan Dia tidak menyuruh kalian untuk mengeluarkan isteri kalian dari rumah seperti yang dilakukan oleh orang-orang ajam.”
Dalam firman Allah telah disebutkan,
وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ
“Dan janganlah kalian mendekati (: menye-tubuhi) mereka (para isteri) sebelum mereka suci.”
Pada ayat itu dijelaskan kalau haid sudah berhenti, maka seorang isteri wajib untuk mandi besar. Artinya, meskipun isteri sudah berhenti mengeluarkan darah haid sampai tiba masa haid lagi tetapi dia belum mandi besar, maka tetap haram untuk di gauli oleh suaminya. Dengan demikian, maka dapat dimengerti betapa rendahnya orang yang tidak mengerti agama. Dia menggauli isterinya akan tetapi terus-menerus berbuat haram disebabkan isterinya belum mandi besar dari haid. Apabila sudah mandi besar, maka diperbolehkan untuk me-lakukan apa saja sesuka hatinya. Allah telah berfirman,
فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ
“Apabila isteri-isterimu sudah bersuci (suci dari haid), maka campurilah mereka itu di-tempat yang diperintahkan oleh Allah ta’ala kepadamu.”
Sedangkan untuk menggauli isteri dengan baik, maka telah tersurat dalam firman Allah,
وََ عَاَشِرُوهُنَ بَِالْمَعْرُوفَِ
“Dan gaulilah mereka (para isteri) dengan baik.”
Oleh karenanya, bagi para suami hendaknya mengetahui dan mengerti tentang permasalahan suci atau tidaknya isteri, baik dia dalam keadaan haid, nifas atau yang lainnya. Disamping itu juga, hendaknya suami mengerti mana tempat yang boleh didatangi (disetubuhi) dan yang tidak boleh didatangi. Al-Ghazali telah menceritakan, “Sesungguhnya menggauli isteri sebelum dia mandi wajib bisa mendatangkan penyakit kusta pada anak.”
Diwajibkan atas perempuan untuk mem-pelajari apa yang dia butuhkan, yaitu dari hukum haid, nifas dan istihadlah. Jika suaminya adalah orang alim maka wajib bagi suaminya untuk mengajari isterinya, dan jika tidak alim maka diperbolehkan bagi isteri untuk keluar guna bertanya kepada ulama’, bahkan diwajib-kan bagi dia untuk melakukannya, dan di-haramkan atas suami untuk melarangnya, kecuali jika suami sendiri yang pergi bertanya lalu dia memberitahukan jawabannya kepada isteri sehingga isterinya sudah merasa cukup dengan itu.
Tidak diperbolehkan bagi isteri untuk keluar ke majelis dzikir atau pengajian kecuali dengan mendapat ridla suami. Dan ketika darah nifas atau haid sudah berhenti dan isteri sudah ber-suci maka boleh bagi suami untuk langsung menyetubuhi isterinya seketika itu juga tanpa ada hukum makruh baginya.
Dikatakan, sesungguhnya ibu Hawa ketika dia mendurhakai Tuhannya di surga karena dia telah memakan buah terlarang, maka Allah memberi cobaan kepada anak turunnya yang perempuan dengan delapan belas macam cobaan.
Pertama, haid, kedua, beranak, ketiga, ber-pisah dengan ayah ibunya, keempat, dinikahi oleh lelaki lain, kelima, nifas dan terkena darah-nya nifas, keenam, tidak memiliki dirinya sendiri, ketujuh, berkurangnya bagian warisan dia, kedelapan, tertalak dan adanya dia berada dalam kekuasaan orang lain, kesembilan, bisa di madu dengan tiga wanita lain dan tidak diper-bolehkan bagi dia untuk berpoliandri (bersuami lebih dari satu).
Kesepuluh, tidak boleh keluar dari rumah-nya meskipun untuk berhaji kecuali dengan muhrimnya, kesebelas, tidak boleh ikut shalat
Jum’at, kedua belas, tidak boleh ikut shalat hari raya, ketiga belas, tidak boleh ikut shalat jenazah, keempat belas, tidak boleh berjihad, kelima belas, tidak pantasnya perempuan untuk menjadi presiden atau qadli (juru hukum), keenam belas, perempuan yang fajir (ber-maksiat) akan mendapat dua kali lipat siksaan lelaki besok dihari kiamat.
Ketujuh belas, beriddah karena ditinggal mati suaminya selama empat bulan sepuluh hari beserta dia harus berihdad (meninggalkan ber-hias, pakaian bagus dan berwangi-wangian) dan kedelapan belas, ketika dia ditalak suaminya, maka dia harus beriddah selama tiga bulan atau tiga kali haid jika dia termasuk perempuan yang masih bisa mengeluarkan darah haid.
Demikian itu adalah berbagai macam cobaan bagi perempuan dan cobaan itu adalah cobaan yang terburuk.
Untuk lebih jelasnya silahkan simak dan pelajari buku fiqih perempuan berikut
Demikian artikel tentang Fiqih Perempuan semoga bermanfaat untuk kita semua, khususnya para perempuan muslimah
0 Response to "FIQIH PEREMPUAN"
Posting Komentar